Sabtu, 29 November 2014

Pilihan



Dari sudut pandang orang Amerika, ketika pelanggan meminta sesuatu yang masuk akal berdasarkan seleranya, dia berhak mendapatkan apa yang diinginkannya. Cara Amerika, mengutip Burger King. "Terserah Anda saja." karena, mengutip Starbucks, "kebahagiaan itu pilihan Anda." Tapi dari sudut pandang orang Jepang, adalah kewajiban mereka untuk meluruskan selera yang jelek -- dalam hal ini, melindungi gaijin udik ini -- dari pilihan yang salah. Kalau mau jujur : apa yang diminta memang di luar kebiasaan budaya pada umumnya, dan mereka mati-matian menyelamatkan muka kita.

Orang Amerika cenderung meyakini bahwa mereka telah mencapai puncak tertinggi dalam mengamalkan pilihan. Mereka pikir konsep pilihan dari kacamata Amerika ini adalah yang paling cocok menjawab kebutuhan yang wajar dan universal bagi semua orang. Sayangnya, keyakinan ini didasarkan pada sejumlah asumsi yang tidak selalu benar di banyak negara, di banyak budaya. Kadang-kadang keyakinan ini juga salah bahkan bagi orang Amerika sendiri.

Alih-alih mengganti satu cerita dengan yang lain, kita bisa belajar dari dan bermain dengan semua versi yang ada dan yang belum ditulis sekalipun. Tidak peduli dari mana kita berasal dan apa jalan cerita kita, semuanya punya tanggung jawab untuk membuka diri dan menerima berbagai akibat yang timbul dari pilihan dan apa maknanya. Ini tidak akan jadi relativisme moral yang mandul. Tapi, akan mengajarkan kita kapan dan bagaimana bertindak. Yang akan membuat kita makin menyadari potensi sesungguhnya dari sebuah pilihan, menumbuhkan harapan dan melahirkan kebebasan seperti yang kerap dijanjikan pilihan meski tidak selalu ditepati. Kalau kita belajar berbicara satu dengan yang lain, meski lewat penerjemahan, maka kita akan bisa melihat pilihan dengan segala keanehannya, kerumitannya, dan keindahannya.

Sumber: TED.com , Sheena Iyengar: The art of choosing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar