Dari sudut
pandang orang Amerika,
ketika pelanggan
meminta sesuatu yang masuk akal berdasarkan seleranya, dia berhak mendapatkan apa yang
diinginkannya.
Cara Amerika, mengutip
Burger King.
"Terserah Anda
saja."
karena, mengutip
Starbucks,
"kebahagiaan itu
pilihan Anda."
Tapi dari sudut pandang
orang Jepang,
adalah kewajiban mereka
untuk meluruskan selera yang jelek -- dalam hal ini, melindungi gaijin udik
ini -- dari pilihan yang salah. Kalau mau jujur : apa yang diminta memang di luar kebiasaan budaya pada
umumnya,
dan mereka mati-matian
menyelamatkan muka kita.
Orang Amerika
cenderung meyakini
bahwa mereka telah
mencapai puncak tertinggi
dalam mengamalkan
pilihan.
Mereka pikir konsep
pilihan dari kacamata Amerika ini adalah yang paling cocok menjawab kebutuhan yang wajar dan universal bagi semua
orang. Sayangnya, keyakinan ini didasarkan pada sejumlah
asumsi yang tidak selalu benar di banyak negara, di banyak budaya. Kadang-kadang keyakinan ini juga salah bahkan bagi orang Amerika sendiri.
Alih-alih mengganti satu cerita dengan yang lain, kita bisa belajar dari dan bermain
dengan semua versi yang ada dan yang belum ditulis sekalipun. Tidak peduli dari mana kita berasal dan apa jalan cerita kita, semuanya punya tanggung jawab untuk membuka diri dan menerima berbagai akibat yang timbul dari pilihan dan apa maknanya. Ini tidak akan jadi relativisme moral yang mandul. Tapi, akan mengajarkan kita kapan dan bagaimana bertindak. Yang akan membuat kita makin menyadari potensi sesungguhnya dari
sebuah pilihan,
menumbuhkan harapan dan melahirkan kebebasan seperti yang kerap dijanjikan pilihan meski tidak selalu ditepati. Kalau kita belajar berbicara satu dengan
yang lain,
meski lewat
penerjemahan,
maka kita akan bisa
melihat pilihan
dengan segala
keanehannya,
kerumitannya, dan keindahannya.
Sumber: TED.com
, Sheena Iyengar: The art of choosing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar