Jasa keuangan yang didasarkan atas prinsip Syariah Islam mulai marak ditawarkan di Indonesia. Anda dapat melihat jumlah penawaran untuk menabung di tabungan atau deposito dari bank-bank berbasis Syariah meningkat.
Bagaimana dengan investasinya?
Ternyata masih banyak yang masih memiliki keraguan untuk berinvestasi di Pasar Modal karena tidak yakin akan “kehalalannya”.
Secara umum, ada beberapa prinsip yang perlu dipenuhi agar investasi itu dapat menjadi Halal. Investasi tersebut haruslah bebas dari unsur gharar, maysir, dan riba.
Sebutlah ada cerita tentang Rafi, Zahra, dan Imuh. Mereka bersama-sama membeli seekor sapi betina. Harganya Rp.9 juta. Mereka bertiga mengadakan aqad untuk bersama-sama membeli sapi betina yang akan dipelihara. Dengan harapan mendapatkan susu setiap hari dan mendapatkan anak sapi setahun sekali.
Bahasa keuangannya: Investasi Rp. 9 juta pada seekor sapi betina. Expected weekly income atau dividen setara 20 liter susu sapi, dan expected annual capital gain berupa seekor anak sapi. Berarti, investasi Rafi = Rp.3 juta, Zahra = Rp 3 juta dan Imuh = Rp 3 juta, masing-masing punya hak atas 1/3 sapi betina.
Setelah berjalan 6 bulan, sapi tersebut bunting dan selama ini memberikan susu rata-rata 24 liter/minggu. Jadi, menurut paparan analis, investment outlook-nya bagus sekali.
Setelah berjalan 5 bulan, mendadak Imuh perlu uang untuk suatu kepentingan. Karena Imuh punya hak atas 1/3 sapi betina maka Ia akan mengambil haknya dan akan menjual bagiannya tersebut.
Kalau sapi betina itu dipotong agar Imuh bisa dapat mengambil bagiannya, tentu tidak akan disetujui oleh Rafi dan Zahra. Semua niatnya mau berinvestasi di sapi betina yang hidup, bukan pada daging dan kulit sapi betina. Lalu bagaimana cara agar Imuh dapat mengambil bagiannya?
Jawaban dari masalah Rafi, Zahra dan Imuh cukup sederhana. Rafi dan Zahra cukup menggantikan bagian Imuh yang 1/3 bagian. Alternatif lain, mencari orang lain yang mau mengambil alih hak Imuh atas sapi betina tersebut. Namun, pembayaran pada Imuh tentunya bukan lagi Rp.3juta.
Sapi betinanya sudah tambah gemuk dan saat ini keadaannya bunting. Maka, dibawalah sapi betina tersebut ke pasar sapi dan ditawarkan kepada saudagar-saudagar sapi betina. Setelah ditanyakan ternyata para saudagar mau membeli dengan harga rata-rata Rp.12 juta untuk satu ekor sapi. Oleh karena itu, untuk mengambil alih hak Imuh, si pembeli perlu membayar Rp.4 juta.
Kasus sapi betina inipun berlaku pada pasar modal.
Pihak yang mengatur mekanisme untuk menampung penawaran dan permintaan para saudagar sapi betina merupakan bursa efek.
Patut dipahami bahwa sebetulnya tidak ada paksaan untuk menjual / membeli efek baik itu saham maupun obligasi di bursa efek. Selain itu, investor yang menjual efek tidak bisa memilih investor yang akan membeli efek yang dijualnya.
Dalam hal ini, bursa efek harus menjaga transparansi atas kondisi keuangan dari emiten. Selama informasi tersebut tersedia secara tepat waktu dan akurat, maka unsur gharar dapat dihindari.
Selain itu, investor seharusnya memiliki kemampuan yang cukup untuk mengadakan analisis atas peluang dan resiko investasi. Selama hal tersebut dipenuhi maka unsur maysir bisa dihindari.
Kemudian agar halal, maka emiten harus memenuhi syarat Syariah Islam, yaitu produk/jasa yang diberikan tak haram/syubhat. Cara mengelola usaha tak boleh zholim (merugikan pihak lain) serta cara memperoleh pendapatan/keuntungan tak boleh bathil.
Jadi, Anda harus memilih untuk berinvestasi di perusahaan yang memenuhi 3 kriteria diatas agar tetap berinvestasi halal.
sumber : +ZAPFinance TV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar