Banyak orang menganggap bahwa kaya
ditunjukkan dari besarnya penghasilan. Sehingga sangat banyak yang selalu
berpindah kerja karena menganggap penghasilan yang ada tidak memadai untuk
memenuhi pengeluaran. Anggapan bahwa orang penghasilan tinggi adalah kaya,
sebenarnya tidak selalu benar. *Eh ini beneran looohhh, ga percaya?*
Walau memang orang yang
berpenghasilan besar memang memiliki kesempatan dan kemungkinan lebih besar
untuk kaya. Namun ternyata kaya tidak sekedar dilihat dari besarnya
penghasilan. Banyak yang memiliki penghasilan besar tapi tetap saja tidak kaya.
Hal ini karena definisi kaya sebenarnya tidak diukur dari besarnya penghasilan.
Coba
perhatikan; kita tidak akan pernah mendapati informasi tentang berapa besar
penghasilan orang terkaya di Indonesia bahkan dunia. Mereka semua diukur
sebagai kaya dari banyaknya asset yang dimiliki. Jadi orang kaya adalah orang
yang memiliki asset banyak dan bukan penghasilan besar. Dan jangan pesimis
dulu, orang dengan penghasilan kecil pun belum tentu memiliki asset yang kecil
juga. Banyak yang terlihat kaya tapi ternyata tidak kaya.
Ketika
kita naik mobil mewah tapi masih utang dan rekan kita naik mobil bekas tapi
lunas, maka teman kita lebih kaya. Karena kaya dihitung dari besarnya asset
dikurangi besarnya utang. Jadi bila seseorang naik mobil mewah seharga 1,2
milyar masih utang dan memiliki total asset 700 juta, penghasilan 30 juta, maka
dia masih minus sekitar 300 juta. Bandingkan dengan orang yang 'hanya' punya
mobil bekas seharga 75 juta tapi lunas, dan tanpa utang, maka kekayaan dia
adalah 75 juta. Jadi jelas kan yang punya mobil bekas lebih kaya.
Mengapa
yang punya mobil mewah tidak kaya walau penghasilannya besar? Karena tidak bisa
mengelola penghasilannya. Banyak yang berusaha untuk mencari penghasilan guna
mengejar pengeluaran. Hal itu tidak logis karena pengeluaran bersifat tidak
terbatas dan pemasukan bersifat terbatas. Jadi seharusnya pengeluaranlah yang
harus menyesuaikan dengan pola penghasilan yang kita miliki.
Untuk
kaya, kita harus bisa mengelola penghasilan yang kita miliki. Penghasilan memang
jumlahnya berbeda, tapi persentase selalu sama yaitu 100%. Bila kita punya
penghasilan 5 juta, adalah bodoh bila kita menyamakan pola pengeluaran dengan
yang penghasilannya 15 juta. Tapi bila kita punya penghasilan 100%, maka orang
yang punya penghasilan lebih dari kita juga punya 100%.
Naaahhh...bagaimana
mengelola 100% tadi dengan benar, disanalah kunci keberhasilannya. Sebenarnya
pemasukan 100% harus juga keluar 100%. Hanya saja harus dengan komposisi yang
benar.
Pengeluaran
ideal harusnya 10% sosial agama, max. 30% cicilan utang, min. 20% cicilan
investasi dan sisanya untuk kebutuhan hidup. Urutan tadi disusun berdasarkan
prioritas; Artinya, dari setiap penghasilan harus langsung di alokasi 10% untuk
sosial dan terakhir baru kebutuhan hidup.
Dengan
begitu masuk 100 juga akan keluar 100. Jadi pengeluaran untuk kebutuhan
bukanlah menjadi prioritas pertama tapi yang terakhir setelah semua prioritas
di atasnya terpenuhi. Tentunya semua prioritas tadi tetap harus memenuhi hukum
utama dalam pengeluaran yaitu :
- utamakan
untuk kebutuhan bukan keinginan.
- usahakan
untuk hemat.
- jika
keluar 1, minimal menghasilkan 1 value juga.
Terakhir, ketika kaya menjadi
tujuan, ingatlah bahwa kaya adalah apa yang kita rasakan bukan apa yang orang
lain lihat. Diingat-ingat ya, 'yang kita rasakan, bukan yang orang lain lihat',
dan keluar 1 minimal masuk 1. Hang on that and you'll be save :)
sumber : @kokiduit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar