Rabu, 16 Desember 2015

Ketika Negara Mengatur Pensiunmu



Wacana uang pensiun yang akan dibayar pada usia 56 membuat ramai dunia kerja. Kalau hanya sekedar dilihat dari sisi fungsinya, memang sih ada benarnya karena uang pensiun kan memang untuk pensiun. 


Dan masalahnya di Indonesia istilah pensiun karyawan selalu diasosiasikan dengan usia 55. Jadi ya nggak salah juga sih kalau baru bisa diambil di usia 56. Tapi yang jadi masalahnya, pensiun kan sebenarnya bersifat personal.

Memang banyak yang pensiun menunggu ditentukan perusahaan, artinya usia 55. Tapi jaman sekarang setiap orang boleh menentukan kapan mereka pensiun, jadi kalau dia mau pensiun usia 40, apakah artinya dia belum boleh pensiun? Harus menunggu umur 56 tahun? 

Nah itulah mengapa seharusnya istilah pensiun bukan berhubungan dengan usia tapi dengan status. Ketika seseorang tidak lagi sebagai karyawan maka dia pensiun. 

Kenapa pemerintah ngotot harus 56, sebenarnya nggak salah. Sekitar 60% pensiunan nggak tahu berapa besar kebutuhan pensiunnya. Hampir 70% pensiunan juga mengandalkan jamsostek sebagai sarana pensiunnya. So bisa dikatakan sebagian pekerja kita siap pensiun secara usia tapi nggak siap secara financial. 

Jadi bisa dikatakan negara nggak percaya kalau pekerja bisa mengelola atau mengatur pensiunnya. Mangkanya "dipaksa" diambil usia 56. 

Secara pribadi agak bingung menentukan sikap. Di satu sisi nggak setuju karena masalah masa depan adalah masalah pribadi seseorang. Di sisi lain dengan angka statistik di atas, takut juga mengingat kasus Yunani yang bisa jadi akan terjadi ke kita. 

Apalagi dari 2 sisi ada masalah. Dari sisi negara, pengelolaan yang nggak transparan membuat setiap orang jadi takut. Negara di Eropa saja gagal memperhitungkan kebutuhan dan beban pensiunnya sampai bangkrut, apalagi kita? 

Nggak salah juga pekerja ragu dengan program itu. Mengurus yang jangka pendek saja kacau apalagi yang jangka panjang.

Dari sisi pekerja sama saja. Kemudaham untuk diambil lebih cepat dimanfaatkan bukan untuk hal yang produktif. Akhirnya ya jadi suram masa depannya. 

Jadi solusinya apa? Mungkin revisi UU ini bisa menjadi solusi walaupun tetap rawan. Pencairan untuk yang PHK diperbolehkan, tapi sebaiknya diberi waktu minimal 6 bulan. Ini untuk memberi waktu pekerja menentukan tindakan yang akan dilakukan. 

Biarkan pekerja menghidupi dirinya dari pesangon kantor dulu. Dan jadikan uang dari program pensiun sebagai dana cadangan atau dana investasi saat cair kelak.

Jadi pekerja tidak menjadi konsumtif saat pensiun. Sebab ketika dana terlalu banyak maka seseorang cenderung akan konsumtif. Itu yang bahaya. 

Dan pastinya harus ada transparansi untuk pengelola. Juga nggak boleh ada azas monopoli. Artinya kalau BPJS sebagai pengelola tidak memberikan hasil optimal…pekerja boleh mengalokasikannya ke tempat lain yang mereka rasa lebih baik. Namun dengan syarat yang sama yaitu nggak boleh dicairkan sampai pensiun. 

Untuk pekerja ya harus tahu diri juga. Kita nggak bisa menggantungkan masa tua kita ke negara. Kasihan nanti anak dan cucu kita harus kerja keras untuk memenuhi kebutuhan kita karena kita konsumtif saat muda. 

Jadi aksi tipu-tipu dengan membuat surat keterangan PHK dari kantor untuk mencairkan dana JHT dan untuk beli HP atau motor baru sebaiknya dihindari. 

Akhirnya, negara seharusnya nggak boleh nggak percaya dengan para pekerja tentang hari tuanya. Dan para pekerja, sebaiknya mulai memikirkan masa depannya sejak dini. 

Komposisi demografi kita yang 60% produktif adalah bom waktu yang berbahaya di masa depan. Kita ngga mau jadi Yunani ke-dua kan ya... 

Masa depan memang harus diraih bukan muncul sendiri.

sumber : @kokiduit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar