Wacana uang pensiun yang akan
dibayar pada usia 56 membuat ramai dunia kerja. Kalau hanya sekedar dilihat
dari sisi fungsinya, memang sih ada benarnya karena uang pensiun kan memang
untuk pensiun.
Dan masalahnya di Indonesia istilah
pensiun karyawan selalu diasosiasikan dengan usia 55. Jadi ya nggak salah juga
sih kalau baru bisa diambil di usia 56. Tapi yang jadi masalahnya, pensiun kan
sebenarnya bersifat personal.
Memang banyak yang pensiun menunggu
ditentukan perusahaan, artinya usia 55. Tapi jaman sekarang setiap orang boleh
menentukan kapan mereka pensiun, jadi kalau dia mau pensiun usia 40, apakah
artinya dia belum boleh pensiun? Harus menunggu umur 56 tahun?
Nah itulah mengapa seharusnya
istilah pensiun bukan berhubungan dengan usia tapi dengan status. Ketika
seseorang tidak lagi sebagai karyawan maka dia pensiun.
Kenapa pemerintah ngotot harus 56,
sebenarnya nggak salah. Sekitar 60% pensiunan nggak tahu berapa besar kebutuhan
pensiunnya. Hampir 70% pensiunan juga mengandalkan jamsostek sebagai sarana
pensiunnya. So bisa dikatakan sebagian pekerja kita siap pensiun secara usia
tapi nggak siap secara financial.
Jadi bisa dikatakan negara nggak
percaya kalau pekerja bisa mengelola atau mengatur pensiunnya. Mangkanya
"dipaksa" diambil usia 56.
Secara pribadi agak bingung
menentukan sikap. Di satu sisi nggak setuju karena masalah masa depan adalah
masalah pribadi seseorang. Di sisi lain dengan angka statistik di atas, takut
juga mengingat kasus Yunani yang bisa jadi akan terjadi ke kita.
Apalagi dari 2 sisi ada masalah.
Dari sisi negara, pengelolaan yang nggak transparan membuat setiap orang jadi
takut. Negara di Eropa saja gagal memperhitungkan kebutuhan dan beban
pensiunnya sampai bangkrut, apalagi kita?
Nggak salah juga pekerja ragu dengan
program itu. Mengurus yang jangka pendek saja kacau apalagi yang jangka
panjang.
Dari sisi pekerja sama saja.
Kemudaham untuk diambil lebih cepat dimanfaatkan bukan untuk hal yang
produktif. Akhirnya ya jadi suram masa depannya.
Jadi solusinya apa? Mungkin revisi
UU ini bisa menjadi solusi walaupun tetap rawan. Pencairan untuk yang PHK
diperbolehkan, tapi sebaiknya diberi waktu minimal 6 bulan. Ini untuk memberi
waktu pekerja menentukan tindakan yang akan dilakukan.
Biarkan pekerja menghidupi dirinya
dari pesangon kantor dulu. Dan jadikan uang dari program pensiun sebagai dana
cadangan atau dana investasi saat cair kelak.
Jadi pekerja tidak menjadi konsumtif
saat pensiun. Sebab ketika dana terlalu banyak maka seseorang cenderung akan
konsumtif. Itu yang bahaya.
Dan pastinya harus ada transparansi
untuk pengelola. Juga nggak boleh ada azas monopoli. Artinya kalau BPJS sebagai
pengelola tidak memberikan hasil optimal…pekerja boleh mengalokasikannya ke
tempat lain yang mereka rasa lebih baik. Namun dengan syarat yang sama yaitu
nggak boleh dicairkan sampai pensiun.
Untuk pekerja ya harus tahu diri
juga. Kita nggak bisa menggantungkan masa tua kita ke negara. Kasihan nanti
anak dan cucu kita harus kerja keras untuk memenuhi kebutuhan kita karena kita
konsumtif saat muda.
Jadi aksi tipu-tipu dengan membuat
surat keterangan PHK dari kantor untuk mencairkan dana JHT dan untuk beli HP
atau motor baru sebaiknya dihindari.
Akhirnya, negara seharusnya nggak
boleh nggak percaya dengan para pekerja tentang hari tuanya. Dan para pekerja,
sebaiknya mulai memikirkan masa depannya sejak dini.
Komposisi demografi kita yang 60%
produktif adalah bom waktu yang berbahaya di masa depan. Kita ngga mau jadi
Yunani ke-dua kan ya...
Masa depan memang harus diraih bukan
muncul sendiri.
sumber : @kokiduit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar